Manusia ini tenggelam dalam lamunan, ia tak henti-henti selalu menghela nafas besar dan berpangku tangan. Berpikir mau dikemanakan rindu yang sudah terpupuk jauh di dalam hatinya sana. Orang ini menarik selimut yang dipakai hingga lutut, di depannya ada sebuah benda yang sangat menyilaukan mata. Menuliskan beberapa baris paragraf seraya berharap rindunya akan ikut lepas bersama tulisannya. Ia mulai tersenyum karena teramat senang dengan ekspektasi dan mimpi yang dibuat berjuta kali. Baris kalimat yang membentuk paragraf itu lama kelamaan menjadi sebuah cerita hati.
Mungkin ia malu mengatakan semua rindunya kepada seseorang. Sudah hampir tengah malam, manusia itu tetap berada di depan benda yang menyilaukan. Jarinya bernari-nari menekan tombol yang membentuk rentetan kata yang tak akan diucap. Sengaja menuliskannya, karena ia bercerita tentang hatinya kepada benda yang tak hidup. Sehingga rahasia hatinya itu takkan bocor kemana-mana.
Ia akan tenang, karena dengan begitu tak akan ada yang mengolok atau mentertawakan perasaan yang orang bilang itu sangat alay. Jari-jemarinya berhenti tatkala ia menyadari bahwa terlalu dalam menyelami rindu yang mungkin tak akan bertemu. Kata mungkin adalah opini yang memberikan manusia berharap, walau sedikit.
Bukankah secercah harapan itu membuat seseorang bertambah lagi semangatnya untuk terus menghidupkan rindu yang sudah terasa kelu? Manusia ini mulai menunduk, menyalahkan dirinya -lagi. Ia berubah posisi menjadi rebahan di tempat tidur kamarnya. Menatap langit kamar dengan kedipan mata yang begitu cepat dari biasanya, lebih mirip berpikir keras akan sesuatu hal.
Ia tak bisa tidur, berusaha untuk bisa tertidur namun gagal. Kemudian ia mengingat kembali waktu, dimana orang ini sedang bersamanya. Ah, terlalu munafik untuk tersenyum membayangkan yang sudah lalu. Manusia ini hendak berterimakasih kepada seseorang yang telah menggoreskan luka di hatinya, namun ia juga takut dipandang tak beretika. Percayalah, manusia ini orang terbodoh karena begitu dalam mencintai seseorang yang tak mungkin lagi berada dalam genggaman. Merelakan rasa rindu bukanlah hal yang mudah untuk manusia ini, karena dalam prosesnya ia selalu mendapat umpatan. Hingga ia bertanya pada dirinya sendiri, patutkah perasaan murni ini diberi umpatan oleh seseorang yang tak tau bagaimana rasanya?.
Maaf harus menceritakan ini, orang bodoh itu terkadang menangis di kamarnya berteman sebuah pensil yang bisa ia patahkan menjadi beberapa bagian. Malam yang selalu ia lewati dengan bermuram rindu itu kini sudah membujuk untuk segera diakhiri. Pelan-pelan ia mulai mengikhlaskan rasa rindu yang tak berujung. Pelan-pelan ia merasa malu. Malu pada diri sendiri yang tak begitu berani mengatakan rindu.
Rindu tak pernah menyulitkan, hanya saja manusia ini sendiri yang selalu berputar pada lingkup yang sama.

Komentar
Posting Komentar