Langsung ke konten utama

Bermalam Rindu


Manusia ini tenggelam dalam lamunan, ia tak henti-henti selalu menghela nafas besar dan berpangku tangan. Berpikir mau dikemanakan rindu yang sudah terpupuk jauh di dalam hatinya sana. Orang ini menarik selimut yang dipakai hingga lutut, di depannya ada sebuah benda yang sangat menyilaukan mata. Menuliskan beberapa baris paragraf  seraya berharap rindunya akan ikut lepas bersama tulisannya. Ia mulai tersenyum karena teramat senang dengan ekspektasi dan mimpi yang dibuat berjuta kali. Baris kalimat yang membentuk paragraf itu lama kelamaan menjadi sebuah cerita hati.
    Mungkin ia malu mengatakan semua rindunya kepada seseorang. Sudah hampir tengah malam, manusia itu tetap berada di depan benda yang menyilaukan. Jarinya bernari-nari menekan tombol yang membentuk rentetan kata yang tak akan diucap. Sengaja menuliskannya, karena ia bercerita tentang hatinya kepada benda yang tak hidup. Sehingga rahasia hatinya itu takkan bocor kemana-mana.
Ia akan tenang, karena dengan begitu tak akan ada yang mengolok atau mentertawakan perasaan yang orang bilang itu sangat alay. Jari-jemarinya berhenti tatkala ia menyadari bahwa terlalu dalam menyelami rindu yang mungkin tak akan bertemu. Kata mungkin adalah opini yang memberikan manusia berharap, walau sedikit.
Bukankah secercah harapan itu membuat seseorang bertambah lagi semangatnya untuk terus menghidupkan rindu yang sudah terasa kelu? Manusia ini mulai menunduk, menyalahkan dirinya -lagi. Ia berubah posisi menjadi rebahan di tempat tidur kamarnya. Menatap langit kamar dengan kedipan mata yang begitu cepat dari biasanya, lebih mirip berpikir keras akan sesuatu hal.
Ia tak bisa tidur, berusaha untuk bisa tertidur namun gagal. Kemudian ia mengingat kembali waktu, dimana orang ini sedang bersamanya. Ah, terlalu munafik untuk tersenyum membayangkan yang sudah lalu. Manusia ini hendak berterimakasih kepada seseorang yang telah menggoreskan luka di hatinya, namun ia juga takut dipandang tak beretika. Percayalah, manusia ini orang terbodoh karena begitu dalam mencintai seseorang yang tak mungkin lagi berada dalam genggaman. Merelakan rasa rindu bukanlah hal yang mudah untuk manusia ini, karena dalam prosesnya ia selalu mendapat umpatan. Hingga ia bertanya pada dirinya sendiri, patutkah perasaan murni ini diberi umpatan oleh seseorang yang tak tau bagaimana rasanya?.

Maaf harus menceritakan ini, orang bodoh itu terkadang menangis di kamarnya berteman sebuah pensil yang bisa ia patahkan menjadi beberapa bagian. Malam yang selalu ia lewati dengan bermuram rindu itu kini sudah membujuk untuk segera diakhiri. Pelan-pelan ia mulai mengikhlaskan rasa rindu yang tak berujung. Pelan-pelan ia merasa malu. Malu pada diri sendiri yang tak begitu berani mengatakan rindu.
Rindu tak pernah menyulitkan, hanya saja manusia ini sendiri yang selalu berputar pada lingkup yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Patah

Kini semesta benar-benar ingin membuatku berhenti untuk tak lagi menuliskanmu pada lembar baru, meskipun dengan tinta pudar sekalipun. Sedikit sulit bagiku, karena sudah lama namamu mendiami hati yang sulit dijangkau oleh siapapun. Bahkan diriku sendiri. Sudah banyak cara kucoba untuk sedikit menghilangkan namamu disana, tetapi tak ada yang berubah. Seakan namamu memang sudah sepatutnya disana dan tidak akan pergi kemanapun. Beberapa orang mengataiku bodoh bahkan terlampau gila karena mencintai orang sepertimu yang sudah membuat luka sebegitu dalamnya.  Mereka memintaku untuk melupakan sekaligus menghilangkan bayang dirimu dari segala memori dan kenangan yang ada di otak, tapi mereka tidak memberitahu bagaimana usaha untuk melakukan itu semua. Mereka hanya menyuruh namun tidak memberi cara padaku. Lantas, aku harus apa? menunggu? bukankah itu sudah kulakukan selama enam tahun itu. Ah, enam tahun, rasanya baru kemarin tetapi waktu sudah berjalan cepat seakan tidak memberi sekat bagi...

Pudar

       Sudah tahun ke-7, ternyata perasaan ini masih sama. Masih sama seperti beberapa tahun lalu, meskipun ada sedikit perbedaan. Perbedaan yang sama sekali tidak membuat perasaan ini hilang atau sirna begitu saja. Ketika semuanya tidak pernah jelas sedari awal sehingga perasaan ini tumbuh secara tidak aku sadari. Perasaan yang sebenarnya tidak meminta sebuah pertanggungjawaban, namun hanya meminta untuk diakui pun dihargai. Sedikit gila ketika perasaan ini memintanya untuk kembali namun otak menolak keras karena orang yang harusnya menerima perasaan ini tidaklah sepadan. Sepadan dengan ketulusan yang aku punya. Sedih memang, tetapi memang ini jalannya. Jalan yang tidak pernah bagus untuk dilewati namun aku memilih untuk tetap berjalan di atasnya, sebab hanya itu yang bisa aku lakukan selama bertahun-tahun.       Sudah banyak hal yang aku lakukan untuk sekedar memudarkan perasaan ini ataupun sedikit mengunci rapat agar tidak meraung-raung dari da...

Seandainya

Ketika malam menyambut dan aku kembali merenung, disitulah jiwa kembali ke tempat yang seharusnya tidak pernah aku genggam selama ini. Perasaan bagaimana aku melewati itu semua masih sangat terasa bahkan ingin rasanya memutar kembali waktu. Bukan untuk mengubah segalanya, melainkan melihat dari kejauhan bagaimana melihat diriku sendiri kala itu. Tapi, aku tahu kalau memutar balik waktu hanya bisa dalam imajinasi saja, tidak ada aksi yang bisa merealisasikan itu semua. Kalaupun ada, manusia tidak akan pernah bisa maju bukan?. Ketika dunia memiliki kapsul waktu untuk tujuan apapun itu, aku rasa Tuhan tidak akan membiarkannya. Karena, Tuhan tahu apa yang terbaik bagi makhluknya dan juga tahu bagaimana kita sebagai manusia harus menjalani apa yang ada di depan mata. Menjadikan yang lalu sebagai pelajaran, dan menjadikan masa depan sebagai arang untuk memacu semangat di hari sekarang.  Tetapi, kalau boleh aku berdoa, ingin rasanya melihat diri ini beberapa tahun yang lalu. Agar aku bisa...