Langsung ke konten utama

Pudar

 


    Sudah tahun ke-7, ternyata perasaan ini masih sama. Masih sama seperti beberapa tahun lalu, meskipun ada sedikit perbedaan. Perbedaan yang sama sekali tidak membuat perasaan ini hilang atau sirna begitu saja. Ketika semuanya tidak pernah jelas sedari awal sehingga perasaan ini tumbuh secara tidak aku sadari. Perasaan yang sebenarnya tidak meminta sebuah pertanggungjawaban, namun hanya meminta untuk diakui pun dihargai. Sedikit gila ketika perasaan ini memintanya untuk kembali namun otak menolak keras karena orang yang harusnya menerima perasaan ini tidaklah sepadan. Sepadan dengan ketulusan yang aku punya. Sedih memang, tetapi memang ini jalannya. Jalan yang tidak pernah bagus untuk dilewati namun aku memilih untuk tetap berjalan di atasnya, sebab hanya itu yang bisa aku lakukan selama bertahun-tahun. 

    Sudah banyak hal yang aku lakukan untuk sekedar memudarkan perasaan ini ataupun sedikit mengunci rapat agar tidak meraung-raung dari dalam. Tetapi, keadaan tidak begitu mendukung. Setiap ada suatu hal yang berhubungan dengannya, alam bawah sadar seakan mengirim sinyal bahwa aku sedang merindukannya. Rindu yang sedari dulu tidak pernah tersampaikan dan juga tidak pernah akan nampak di kehidupannya sekarang. Rindu yang sampai saat ini menyiksa sang pemilik perasaan. Ah, aku tidak pernah selesai membicarakan hal ini. 

    Berharap suatu saat nanti perasaan ini akan berlabuh kepada seorang yang memang sepadan dan tepat, pun juga tidak mengikat. Mungkin hati kecil sedikit berharap bahwa aku bisa untuk setidaknya dicintai. Dicintai dan mencintai dua hal yang berbeda namun saling melengkapi. Ternyata, mencintai manusia setulus ini cukup menyiksa. Terlebih ketika diri tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan ataupun setidaknya mengakuinya. Entah bagaimana rasanya jika waktu itu aku juga menyatakan perasaanku. Jika kapsul waktu benar-benar ada, mungkin aku akan memesan tiket untuk kembali ke tahun dimana aku tidak ingin bertemu dengannya. Tahun dimana semua luka itu bermula dan juga dimana semua itu harus berakhir. 

    Semesta mengirim dirimu di hidupku kemudian memberi luka yang sakitnya tidak kira-kira. Sakit yang sama sekali tidak bisa dibayangkan oleh siapapun itu. Sakit yang hanya dimengerti oleh aku sendiri, dirimu yang tidak tahu menahu akan itu hanya akan diam saja. Jangankan mengetahui aku terluka oleh dirimu, terjatuh di depan matamu saja dirimu sama sekali tidak peduli. Mungkin sejak saat itu harusnya aku paham, kalau rasa itu sudah pudar dari dirimu. Mungkin sejak saat itu juga aku harus mengakhiri apa yang baru saja dimulai. Ah, terlalu banyak pengandaian pun juga penyesalan. Entah apa maksud semesta mengirim dirimu yang sama sekali tidak memiliki rekam jejak yang begitu berarti, atau mungkin semesta mengirim dirimu untuk sedikit mengukir sejarah luka di hidupku yang satu orangpun tidak bisa mengobatinya keseluruhan. 

  Sikapku yang sekarang tidak jauh dari rasa penyesalan dan juga kemarahan yang sudah kusembunyikan selama ini. Kemarahan yang selalu aku curahkan kepada semesta yang sama sekali tidak lagi menghadirkan dirimu di hidupku. Aku seperti terhipnotis untuk tidak lagi menerima dirimu kembali meskipun dirimu pernah kembali di hidupku untuk beberapa kali. Tapi, waktu itu aku bilang bahwa tidak seharusnya dirimu menggunakan diriku sebagai pelabuhan sementara. Menjadi teman terlalu mustahil apalagi menjadi seseorang yang selalu menghabiskan waktu bersamamu. Disini aku berharap kepada semesta untuk menghilangkan segala yang tersisa tentang dirimu di hidupku. Barangkali melupakanmu sepenuhnya membuat aku bisa percaya orang lain lagi dan juga berani menerima cinta yang orang lain beri. 

"Jika kamu melihat ini, percayalah aku menyayangimu dengan tulus tanpa meminta dirimu untuk kembali menyayangiku. Karena, satu hal yang aku mau adalah dirimu bahagia meskipun orang itu bukan aku."


Yogyakarta, 3 Mei 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Patah

Kini semesta benar-benar ingin membuatku berhenti untuk tak lagi menuliskanmu pada lembar baru, meskipun dengan tinta pudar sekalipun. Sedikit sulit bagiku, karena sudah lama namamu mendiami hati yang sulit dijangkau oleh siapapun. Bahkan diriku sendiri. Sudah banyak cara kucoba untuk sedikit menghilangkan namamu disana, tetapi tak ada yang berubah. Seakan namamu memang sudah sepatutnya disana dan tidak akan pergi kemanapun. Beberapa orang mengataiku bodoh bahkan terlampau gila karena mencintai orang sepertimu yang sudah membuat luka sebegitu dalamnya.  Mereka memintaku untuk melupakan sekaligus menghilangkan bayang dirimu dari segala memori dan kenangan yang ada di otak, tapi mereka tidak memberitahu bagaimana usaha untuk melakukan itu semua. Mereka hanya menyuruh namun tidak memberi cara padaku. Lantas, aku harus apa? menunggu? bukankah itu sudah kulakukan selama enam tahun itu. Ah, enam tahun, rasanya baru kemarin tetapi waktu sudah berjalan cepat seakan tidak memberi sekat bagi...

Seandainya

Ketika malam menyambut dan aku kembali merenung, disitulah jiwa kembali ke tempat yang seharusnya tidak pernah aku genggam selama ini. Perasaan bagaimana aku melewati itu semua masih sangat terasa bahkan ingin rasanya memutar kembali waktu. Bukan untuk mengubah segalanya, melainkan melihat dari kejauhan bagaimana melihat diriku sendiri kala itu. Tapi, aku tahu kalau memutar balik waktu hanya bisa dalam imajinasi saja, tidak ada aksi yang bisa merealisasikan itu semua. Kalaupun ada, manusia tidak akan pernah bisa maju bukan?. Ketika dunia memiliki kapsul waktu untuk tujuan apapun itu, aku rasa Tuhan tidak akan membiarkannya. Karena, Tuhan tahu apa yang terbaik bagi makhluknya dan juga tahu bagaimana kita sebagai manusia harus menjalani apa yang ada di depan mata. Menjadikan yang lalu sebagai pelajaran, dan menjadikan masa depan sebagai arang untuk memacu semangat di hari sekarang.  Tetapi, kalau boleh aku berdoa, ingin rasanya melihat diri ini beberapa tahun yang lalu. Agar aku bisa...