Kehidupan yang fana ini membuat jiwa sering kali selalu beradu satu sama lain tanpa mengenal waktu. Jiwa yang rapuh karena keadaan dan juga pikiran, pun dengan raga yang selalu menyalahkan. Kini jiwa hanya bisa mengeluarkan kegilaannya lewat raga. Raga hanya bisa menerima semua itu tanpa paksaan, karena ia juga paham kalau ia dan jiwa sama-sama lelah dengan semuanya. Entah lelah dengan diri sendiri, teman, pun keluarga. Setiap api yang membakar jiwa muncul sebuah perilaku raga yang tidak seharusnya dilakukan. Jiwa mengasihani raga, raga pun mengasihaninya. Mereka hanya punya satu sama lain dan menyalahkan satu sama lain. Ketika kesatuan itu sudah menggila, waktu tetap berjalan mengawasi keduanya dengan berdiam diri. Tidak tahu kapan ada uluran tangan yang akan membantu, dan kapan raga akan berhenti berperilaku tidak normal.
Jiwa butuh waktu katanya, raga pun menuruti. Raga ingin berhenti, namun jiwa mengancam akan mati. Kini, mereka hanya bisa beradu, sembari waktu mengawasi mereka berdua. Raga memutuskan untuk mengonsumsi sesuatu yang sedikit membuat jiwa sedikit tenang. Namun, raga salah karena mengonsumsi hal tersebut tak membuat jiwa menjadi punya perasaan ceria dan bahagia lagi. Ia pikir dengan adanya asupan hal tersebut jiwa sedikit bisa berubah. Namun, nyatanya tidak, ia hanya bisa sedikit tenang untuk sementara waktu sebelum raga kembali melakukan hal tidak normal lagi. Keduanya saling menyakiti satu sama lain karena mereka tidak punya apalagi, karena memang mereka harus saling berbagi dalam satu tubuh.
Jiwa terlalu menyimpan banyak api dalam hatinya, memadamkannya dengan segenap tenaga yang ia punya. Seiring berjalannya waktu jiwa menjadi tidak memiliki perasaan, ia mati rasa karena terlalu banyak tenaga yang ia keluarkan untuk memadamkan api itu. Raga hanya bisa diam menyaksikan dengan tidak mengisi tenaga sama sekali. Menyayangkan dan menangisi keadaan jiwa. Raga pikir ia akan melihat jiwa ceria nantinya, nyatanya ia juga ikut putus asa. Karena kaki Raga selalu berada di kobaran api yang menyala. Raga ingin keluar dari lingkaran itu untuk membuat jiwa kembali tersenyum. Tak apa jika nanti ia terluka, yang penting jiwa masih bisa untuk ceria.
Raga mencoba melangkah keluar dari kobaran api itu, rasanya memang menyakitkan tapi juga terdapat kepuasan disana. Namun, setelahnya jiwa masih dalam kondisi yang sama. Raga lupa kalau api masih meninggalkan debu di dalam jiwa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi membantu jiwa yang sedang tidak merasakan apa-apa. Raga berharap, ia dan jiwa bisa bersama satu sama lain meskipun debu di dalam jiwa masih belum hilang. Raga mencoba untuk menghibur jiwa dengan bersikap ceria dan lucu, namun jiwa juga tak berkutik. Jiwa hanya bisa terdiam, kemudian menangisi perlakuan raga yang malah membuat jiwa semakin lelah. Jiwa menangis, raga terdiam. Karena mereka sama-sama lelah harus bersikap baik-baik saja di depan orang lain. Kehidupan jiwa dan raga mungkin tidak lurus, namun mereka masih memiliki harapan untuk bisa bangkit bersama pelan-pelan.

Komentar
Posting Komentar